BAB
I
PENDAHULUAN
Islam adalah doktrin atau ajaran dasar yang menjadi pedoman
hidup bagi manusia. Syari‟at Islam dalam berbagai aspeknya mengandung hikmah
yang sangat dalam bagi manusia. Salah satu aspek yang dimaksud adalah hikmah dari
adaya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempun. Banyaknya pandangan yang
mendiskreditkan syariah sebagai sebuah konsep dasar kehidupan yang tidak
mengakui adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam konteks
peran dan status sosial[1]
Pandangan ini menjadi antiklimaks dari kurangnya kajian mendalam terhadap
doktrin syari‟ah, padahal pola iteraksi atau hubungan kerja antara laki-laki
dan perempuan telah diatur dalam syari‟ah sesuai kodratnya masing-masing.
Meskipun perbedaan gender antara laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, namun perbedaan itu
banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang dalam masyarakat
seperti tradisi, adat istiadat, corak budaya, ajaran agama bahkan kebijakan
negar.[2]
Akibatnya dapat melahirkan peran sosial yang berbeda dalam masyarakat sehingga
sulit terjadi pergantian peran antara laki-laki dan perempan.
Mengacu pada pandangan di atas maka yang
dimaksud dengan esensi hikmah syari‟ah terhadap kesetaraan gender dalam tulisan
ini adalah jawaban atas adanya justifikasi syari‟ah terhadap peran perempuan
baik dalam konteks sosial budaya maupun politik. Tulisan ini mencoba
mengeksplorasi peran perempuan dalam konteks nilai-nilai ilahiayah atau hikmah
dibalik peran yang diembannya dalam perspektif syari‟ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesetaraan Gender
Untuk memahami konsep gender tersebut maka
istilah lain (seks) yang berdekatan dengan konsep ini perlu pula dijelaskan.
Seks dan gender keduanya kadangkala digunakan secara tumpang tindih. Istilah
seks dalam masyarakatpun bermakna ganda, terkadang istilah seks dipakai untuk
menunjuk prilaku seksual seperti
hubungan badan dan terkadang digunakan untuk menunjuk jenis
kelamin yakni laki-laki dan perempuan.[3]
Merujuk pada arti yang terakhir maka
perbedaan seks berarti perbedaan jenis kelamin yang didasarkan pada perbedaan
biologis atau bawaan yang melekat di tubuh laki-laki atau perempuan. Disebut
perempuan karena memiliki sejumlah organ perempuan seperti vagina dan rahim
sehingga ia bisa menyusui anaknya. Seorang anak disebut laki-laki ditandai
dengan kepemilikan penis, bila telah balig ia akan memiliki kumis, cambang dan
organ laki-laki lainnya.
Pengertian gender[4]
tidak sekedar merujuk ada perbedaan biologis semata tetapi juga perbedaan
prilaku, sifat dan ciri-ciri khas yang dimiliki laki-laki atau perempuan. Lebih
jauh istilah gender mengacu pada peranan dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan.[5]
Selain itu, gender juga digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki
dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara seks secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologi. Karena itu, istilah seks lebih banyak berkonotasi pada aspek anatomi,
hormonal, repreduksi tubuh sedangkan gender pada aspek sosial, budaya,
phisikologis dan aspek non biologis lainnya.[6]
Jika istilah seks merupakan bawaan sejak
lahir dan sepenuhnya kehendak Tuhan maka istilah gender sepenuhnya didasarkan
atas kreasi atau ciptaan masyarakat. Karena itu, seks atau jenis kelamin tidak
akan pernah berubah, berbeda dengan gender ia akan selalu mengalami perubahan
dari waktu ke waktu dan tempat.
B.
Hikmah Kesetaraan
Gender dalam Tinjauan Filsafat Hukum Islam
Salah satu tujuan dari syari’at Islam adalah untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan.[7]
Praktik ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam masyarakat kadang-kadang
menggunakan dalil agama, jika ditelaah lebih dalam maka tak satupun nas al-Qur‟an
maupun hadis yang menunjukkan perempuan lebih rendah martabatnya dari
laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam selalu
didasarkan pada prinsipprinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan.
Sebenarnya arti ini kurang tepat karena
gender disamakan pengertiannya dengan seks sebagai jenis kelamin. Kata ini juga
termasuk kosa kata baru sehingga pengertiannya yang tepat belum ditemukan di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, istilah tersebut sudah
lazim digunakan dengan ejaan “gender”.
Secara distintion, laki-laki dan
perempuan memang berbeda jenisnya. Namun demikian, baik laki-laki maupun
perempun mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk mengaktualisasikan
dirinya dihadapan Allah sehingga ia menjadi “Ibadurrahman”,[8]
karena posisi perempuan dalam Islam sama dengan laki-laki, persamaan itu dapat
dilihat dari tiga hal, yaitu dari segi kemanusiaan dan balasan pahala dan dosa
serta Islam tidak membenarkan adanya perlakuan tidak adil di antara manusia.[9]
Bila ditelusuri lebih jauh, maka banyak ayat
maupun hadis menganugerahi kaum perempuan hak asasi yang belum pernah diberikan
oleh aturan hukum ataupun undang-undang lain yang penah ada di muka bumi. Hal
ini dapat dilihat pada adanya perlindungan hak waris perempuan,[10]
demikian Islam memberikan hak tersebut dengan ketentuan perempuan menerima
setengah bagian dari lakilaki. Ketentuan ini tidak berarti perempuan lebih
rendah martabatnya dari lakilaki tetapi karena perempuan di samping menerima
setengah bagiannya juga menerima nafkah dari saudara laki-lakinya. Dengan kata
lain, sekalipun perempuan menerima separuh namun kewajiban memberi nafkah tidak
dibebankan kepada perempuan.[11]
Di sinilah letak keadilan syari‟at Islam di
mana Allah telah menetapkan adanya aspek keseimbangan dan kesetaraan tanggung
jawab terhadap laki-lak pada perempuan. Penetapan ini mengilustrasikan betapa
besar hikmah dibalik ketentuan tersebut, perempuan yang pada awalnya tidak
mempunyai hak apapun maka dengan keluwesan syari‟at Islam perempuan kembali
mendatapatkan hakhaknya dan memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki.
Perempuan tidak lagi tertindas secara fisik dan intelektual tetapi mereka turut
menentukan kemajuan peradaban manusia dewasa ini.
Dalam masalah mahar, jika ajaran lain mahar
menjadi milik keluarga namun dalam Islam mahar menjadi milik langsung
perempuan, demikian pula dengan masalah hukum kisas. Tidak satupun ayat yang
membedakan antara pembunuh laki-laki dan perempuan, pelaku pembunuhan tidak
dibebaskan karena yang dibunuh adalan perempuan demikian sebaliknya. Berbeda
dengan hukum kisas di luar Islam, hukum itu diberlakukan hanya jika yang
terbunuh laki-laki.[12]
Hikmah dibalik perubahan ini adalah
memberikan ruang yang besar bagi perempuan untuk mengelola kehidupannya
sendiri. Dengan kewenangannya tersebut perempuan tidak lagi tergantung pada
belas kasihan orang lain tetapi mereka dapat lebih mandiri dalam menata masa
depannya. Demikian pula dengan masalah kisas, perempuan telah mendapatkan keadilan
yang sangat tinggi sehingga mereka tidak lagi dijadikan sebagai objek dari
konspirasi yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam masalah pernikahan, Islam menegaskan
bahwa perempuan memiliki hak mutlak untuk menerima atau menolak pinangan. Kedua
orang tua tidak diperkenankan memaksanya. Sebuah riwayat menyatakan bahwa
seorang perempuan telah mengadu kepada Rasulullah perihal ayahnya yang telah
memaksanya menerima pinangan anak pamannya kemudian rasul menyerahkan
keputusannya pada perempuan tersebut.[13]
Hikmah dari adanya kebebasan perempuan
menentukan pilihannya tersebut adalah agar perempuan dapat mengaktualisasikan
dirinya dalam menyalurkan cinta kasihnya sehingga dapat melahirkan keturunan
yang saleh dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, mengarahkan dirinya
kepada yang ma‟ruf dan menghindarkan dirinya dari yang batil.
Syari‟at Islam juga melindungi hak-hak
perempuan dalam masalah kepemilikan.[14]
Hak semacam ini hampir tidak pernah ditemui dalam ajaran-ajaran lain
sebelumnya. Syari‟at Islam menggariskan bahwa perempuan mempunyai kebebasan
untuk menguasai atau mengembangkan harta bendanya, baik dalam bentuk pertanian
ataupun perniagaan sekalipun perempuan telah berumah tangga.
Ketentuan ini menunjukkan betapa syari‟at
Islam mendorong perempuan untuk selalu bekerja dengan penuh tanggung jawab dan
keikhlasan yang tinggi. Sekalipun tanggung jawab keluarga adalah kewajiban
laki-laki namun perempuan dapat membantu keluarganya untuk hidup lebih baik
sehingga terhindar dari kehidupan melarat yang dapat mendorong pada kekufuran.
Islam juga menegaskan kesetaraan perempuan
dan laki-laki dalam melakukan amar ma‟ruf nahi munkar, keduanya dijanjikan
untuk mendapatkan pahala yang sama derajatnya.[15]
Masih banyak ayat yang menyebutkan perempuan secara beriringan dengan
penyebutan laki-laki, penyebutan perempuan itu dimasudkan untuk memberikan
motivasi bagi perempuan untuk lebih banyak berbuat kebaikan serta menunjukkan
bahwa mereka dimuliakan dan disetarakan dengan kaum laki-laki dalam memenuhi
ajakan untuk amar ma‟ruf nahi munkar.
Inilah hikmah yang terpenting dari semua
hikmah keberadaan perempuan di muka bumi sebagaimana tujuan manusia diciptakan
adalah untuk beribadah dan menyeru kepada yang baik karenanya perempuan dapat
memaksimalkan waktunya dalam konteks beribadah kepada Allah. Diakui bahwa
perempuan banyak mengalami apa yang disebut dengan “wasting time” atau
terbuangnya ibadah-ibadah tertentu karena mengalami menstruasi sehingga mereka
tidak shalat, puasa dan mengaji. Karena itu, dengan motivasi ini perempuan
diharapkan dapat memaksimalkan waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Mengacu pada hikmah syari‟ah di atas, maka
dapat dipahami bahwa Islam benar-benar memuliakan perempuan dan menempatkannya
setara dengan kaum laki-laki, khususnya yang pernah dipraktekkan pada masa
Rasulullah dalam konteks kehidupannya dengan istri-istrinya maupun terhadap
masyarakat Islam secara keseluruhan. Misalnya nabi tidak segan-segan melakukan
pekerjaan perempuan, istrinya diberi kebebasan berpendapat, ketika kehidupan
rumah tangganya dililit masalah rasul memberikan kebebasan pada istrinya apakah
bercerai atau tetap mendampinginya.[16]
Perempuan juga diberi kebebasan bekerja dan
mengembangkan inisiatifnya sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh Khadijah
sebagai pencari nafkah utama karena kesibukan nabi dalam berdakwah.[17]
Kondisi demikian dibenarkan oleh Islam karena adanya alasan kerja sama dan
sikap saling berbagi tanggung jawab, sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur‟an.[18]
Selain itu, perempuan juga terlibat dalam
kegiatan publik. Sejarah mencatat bahwa masjid pertama yang dibangun nabi
menyatu dengan tempat tinggal para istri nabi bahkan kamar Aisyah bersebelahan
langsung dan memiliki pintu penghubung dengan masjid tersebut yang digunakan
untuk aktivitas sosial selain shalat. Ini menunjukkan bahwa nabi sangat mendukung
peran perempuan tidak saja dalam kehidupan rumah tangga tapi juga dalam
kehidupan publik.[19]
Berbagai kisah di atas menjelaskan bahwa
nabi sangat memperhatikan dan mempraktikkan hubungan yang setara antara
laki-laki dan perempuan. Penghormatan dan keberpihakan pada kaum perempuan
diilustrasikan di akhir hidupnya menjelang kematiannya “Aku mendesakmu untuk
memperlakukan perempuan secara baik, mereka adalah amanah di tanganmu. Takutlah
kepada Allah dalam menjaga amanahnya”.[20]
Jika dikaji dari perspektif filsafat hukum
Islam, maka kesetaraan gender tidak dapat dilepaskan dari aspek kemaslahatan
manusia di mana wanita harus mendapatkan posisi yang seimbang dengan laki-laki.
Oleh karena fungsi dan peran laki-laki dewasa ini sebagian besar telah diambil
oleh perempuan, apalagi perempuan dewasa ini telah memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi melebihi sebagian laki-laki, karena itu tidak mengherankan jika
para perempuan itu mendapatkan tempat yang sejajar dengan laki-laki dalam
berbagai aspek dan bidang kehidupan.
Sekalian di dalam teks-teks agama dijelaskan
secara literal bahwa posisi laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, itulah
kandungan teks yang secara mu‟tabarah atau tegas disinggung dalam nas namun
jika dilihat dari perspektif maslahat mursalah atau unsur kemaslahatan manusia
yang lahir dari perkembangan sosial budaya masyarakat sekalipun tidak
disebutkan secara tersirat dalam nas tetapi secara tersirat makana realitasnya
dapat dipahami bahwa terdapat hubungan antara makna literal nas dengan
realitas. Karena itu, perempuan sebenarnya dapat menjadi pemimpin bagi
laki-laki selama perempuan itu memiliki syarat yang kuat untuk menjadi
pemimpin. Misalnya, memiliki integritas yang tinggi, besih dan punya tanggung
jawab serta berkepribadian agama dan mampu menjabarkan ajaran agama tersebut,
sehingga ia tidak akan melakukan penyelewengan terhadap kewenangan yang
dimilikinya.
Dari segi ekonomi, perempuan dapat melakukan
fungsi dan tugas laki sebagai pencar nafkah oleh karena kemampuan link atau
jaringan kerja yang dimilikinya, sehingga biasanya pengasuhan anaknya akan
dititipkan pada lembaga-lembaga pendidikan anak yang memperkenalkan unsur-unsur
agama pada anak tersebut. Karena itu, aspek mental dan kekerdilan akan
nilai-nilai personaliti dengan sendiri dapat diatasi dengan baik. Dalam hal
ini, wajar jika seorang peremuan berkarir untuk alasan keluarga. Salah satu
syarat untuk dapat memberikan pendidikan yang baik dan mumpui terhadap anak
adalah kemampuan ekonomi keluarga. Jika dalam sebuah rumah tangga, seorang
istri memiliki pendidikan yang lebih tinggi, maka ia tentunya dapat
memaksimalkan perannya untuk rumah tangganya.
Dari segi sosial budaya, perempuan dewasa
ini tidak lagi sama dengan lailaki dan agama mengakui hal tersebut, sehingga
Islam mendorong perempuan itu untuk merubah nasibnya dengan menuntut ilmu
sekalipun meninggalkan tempatnya. Atas dasar inilah, maka seorang perempuan
yang dibesarkan oleh budaya dan peradaban ilmiah tentunya berkewajiban
membangun masyarakatnya sekalipun yang dipimpinnya itu adalah laki-laki.
BAB
III
PENUTUP
Mengacu pada uraian esensi hikmah
syari’ah terhadap kesetaran gender dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Islam mengakui adanya kesetaran gender.
2. Dalam konteks kesetaraan gender antra laki-laki dan perempuan
terdapat berbagai hikmah syariat di balik ketentuan tersebut
3. Hikmah terbesar dari adanya kesetaraan gender antara laki-laki
dan perempua itu adalah adanya rahmat Allah yang maha luas terhadap para
hambanya dalam menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing sesuai
kodratnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasaruddin
Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur‟an Cet. 1; Jakarta:
Paramadina, 1999
Tim
Penyusun: Siti Musdah Mulia dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender, Perpektif
Islam, Cet. II; Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003
John
M. Echols dan Hasan Sadili, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XII; Jakarta:
Gramedia: 1983
Muin
Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur‟an. Ed.1
Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Mustafa Muhammad Asy-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab,
Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Leila
Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Akar-akar Historis dan Perdebatan
Modern Cet. I; Jakarta: Lentera, 2000
[1] Peran gender adalah
ide-ide kultural yang menentukan harapan-harapan pada laki-laki dan perempuan
dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat. Peran
gender tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan identitas dan berbagai
karakteristik yang diazumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Lihat
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur‟an (Cet. 1;
Jakarta: Paramadina, 1999), h. 73 & 75.
[2] Lihat Tim Penyusun: Siti
Musdah Mulia dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender, Perpektif Islam (Cet.
II; Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003), h. 60
[3] Siti Musda Mulya.,
h. 59-60
[4] John M. Echols dan Hasan
Sadili, Kamus Inggris Indonesia (Cet. XII; Jakarta: Gramedia: 1983, ),
h. 265
[5] Lihat Musda Mulya, h. 60
[6] Lihat Nasaruddin, h. 35
[7] Tujuan hidup manusia hanya
dapat terwujud jika manusia dapat mengaktualisasikan hakikat dan keberadaannya
sebagai makhluk utama yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum Tuhan dengan
jalan mewujudkan kehidupan yang selaras atau adil. Lihat lebih lanjut Muin
Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur‟an. Ed.1
(Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 294
[8] Yaitu hamba-hamba Allah
yang maha pengasih yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang bodoh menyapa mereka dengan kata-kata yang menghina mereka
mengucapkan salam. Lihat Q.S. Al-Furqan 25/ 63
[10] ”Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi perempuan ada
hak baginya dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.Q.S. An-Nisa/4:7
[11]Mustafa Muhammad Asy-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab
(Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 79.
[12] Mustafa asy-Syak‟ah, h.
80.
[13] Mustafa asy-Syak‟ah, h.
80-81
[14] ”Wahai orang-orang yang
beriman apabila kamu melakukan utang piutang untuk yang ditentukan hendaklah
kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. . .” Lihat lebih lanjut Q.S al-Baqarah/2; 282
[15] Maka Rabb mereka
memperkenankan permohonannya, sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik klaki-laki maupun perempuan
karena sebagaian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain. Maka
orang-orang yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya yang disakiti
pada jalanku yang berperang dan yang dibunuh pasti akan kuhapuskan kesalahankesalahan
mereka dan pasti Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya sebagai pahala di sisi Allah dan Allah pada sisi-Nya pahala yang
baik”. Q.S. al-Imran /3: 195.
[16] Lihat Musda, h. 80
[17] Khadijah adalah orang
yang pertama kali beriman kepadanya. Keimanan wanita kaya dan dewasa yang
berkedudukan tinggi dalam masyarakat ini pastilah mempengaruhi orang lain ,
khususnya anggotaanggota kabilah Quraisy yang penting untuk menerima Islam.
Lihat Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Akar-akar Historis dan
Perdebatan Modern (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2000), h. 54
[18] “ .....Sesungguhnya Aku
tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal di antara kamu,
laki-laki dan perempuan. Sebagian kamu adalah darisebagian yang lain... .Q.S
Ali Imran/3: 195
[19] Lihat Musda, 83.
[20] Musda, h. 83
0 comments:
Post a Comment